AniEvo ID – Berita kali ini gue ambil dari situasi politik Jepang yang sedang panas karena isu pemotongan pajak konsumsi menjelang pemilihan DPR. Dengan inflasi tinggi dan beban hidup masyarakat yang semakin berat, partai-partai oposisi mulai serius mengusung rencana pemotongan pajak sebagai solusi jangka pendek. Tapi, pemerintah saat ini masih menolaknya karena alasan anggaran kesejahteraan.
Inflasi Tinggi, Beban Hidup Masyarakat Makin Berat
Saat ini, rumah tangga di Jepang sedang kesulitan karena harga-harga kebutuhan pokok naik cukup tinggi. Inflasi tahun ini mencapai sekitar 3% , bahkan sempat menyentuh 3,5% pada bulan Mei . Harga beras saja naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu. Sementara itu, kenaikan upah belum bisa mengejar laju inflasi.
Kondisi ini membuat banyak keluarga merasa tekanan ekonomi semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah, wajar kalau rakyat mulai memperhatikan janji-janji politik yang bisa memberikan bantuan langsung, salah satunya adalah pemotongan pajak konsumsi.
Hampir Semua Partai Oposisi Usung Pemotongan Pajak Konsumsi

Dalam suasana seperti ini, hampir semua partai oposisi sepakat bahwa pemotongan pajak konsumsi adalah langkah yang perlu diambil pemerintah. Saat ini, pajak konsumsi di Jepang dikenakan sebesar 10% untuk sebagian besar barang , dan 8% untuk makanan dan minuman .
Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CDP), sebagai partai oposisi terbesar, bahkan sudah memasukkan usulan pemotongan pajak konsumsi ke dalam platform kampanye mereka — sesuatu yang jarang terjadi di pemilu sebelumnya.
Jika koalisi LDP-Komeito gagal mempertahankan mayoritas di Majelis Tinggi setelah pemilu 20 Juli nanti, kemungkinan besar pemotongan pajak konsumsi akan menjadi opsi yang benar-benar realistis.
LDP Menolak, Alasannya Soal Dana Kesejahteraan
Di sisi lain, Perdana Menteri Shigeru Ishiba dari Partai Demokrat Liberal (LDP) tetap menolak ide pemotongan pajak konsumsi. Menurutnya, pendapatan dari pajak tersebut sangat penting buat mendanai program kesejahteraan sosial yang biayanya terus meningkat.
Ishiba juga menegaskan bahwa penerapan pemotongan pajak butuh waktu sekitar satu tahun , sehingga tidak bisa cepat mengurangi beban masyarakat dalam waktu dekat.
Sebagai gantinya, koalisi LDP-Komeito ingin memberikan bantuan tunai sebesar ¥20.000 per individu , yang dinilai lebih cepat direalisasikan kepada masyarakat.
Komeito Tawarkan Alternatif, CDP dan Nippon Ishin Ingin Lebih Spesifik
Meski Komeito mendukung LDP dalam menolak pemotongan pajak konsumsi secara umum, mereka mengusulkan penurunan tarif pajak untuk makanan menjadi 5% . Namun usulan itu akhirnya tidak jadi prioritas.
Di sisi lain, mantan PM Yoshihiko Noda dari CDP ingin bebas pajak untuk makanan selama satu tahun , plus bantuan tunai sebesar ¥20.000. Menurutnya, pemotongan pajak butuh waktu, tapi bantuan tunai bisa jadi “jembatan” sementara.
Nippon Ishin no Kai malah mengusulkan penghapusan pajak makanan selama dua tahun . Ketua partai Hirofumi Yoshimura percaya cara ini lebih efektif daripada uang tunai yang bisa saja ditabung dan tidak digunakan untuk belanja.
Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP) juga punya usulan berani: menurunkan sementara pajak konsumsi untuk semua produk menjadi 5% sampai upah riil masyarakat mulai naik lagi.
Ancaman Tarif AS Bikin Masalah Makin Rumit

Presiden AS Donald Trump beberapa waktu lalu mengancam akan menaikkan tarif impor terhadap Jepang hingga 35% jika dia kembali menjabat. Ini bikin Yuichiro Tamaki dari DPP menyarankan agar Jepang bersiap dengan pemotongan pajak konsumsi , jika ancaman itu benar-benar direalisasikan.
Tamaki juga bilang bahwa partainya fokus pada pemotongan pajak penghasilan untuk membantu daya beli masyarakat.
Partai Kecil Bahkan Ingin Hapus Pajak Konsumsi
Tiga partai kecil seperti Reiwa Shinsengumi, Partai Komunis Jepang (JCP), dan Sanseito bahkan lebih ekstrem: mereka menginginkan penghapusan total pajak konsumsi .
Taro Yamamoto dari Reiwa Shinsengumi menekankan perlunya kebijakan ekonomi yang berani untuk bangkit dari stagnasi selama 30 tahun. Selain hapus pajak konsumsi, mereka juga janjikan bantuan ¥100.000 per rumah tangga .
Tomoko Tamura dari JCP ingin menurunkan tarif pajak konsumsi dari 10% ke 5% dulu , sebagai tindakan darurat. Ini bisa memberi manfaat sekitar ¥120.000 per rumah tangga per tahun .
Sohei Kamiya dari Sanseito, partai sayap kanan dan populis, juga setuju bahwa Jepang butuh kebijakan ekonomi dramatis . Dia siap kerja sama dengan partai mana pun untuk memangkas pajak konsumsi secara bertahap.
Ekspektasi vs Realitas Ekonomi
Walaupun isu pemotongan pajak konsumsi terus menguat, para ekonom mulai mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar diperlukan. Shinichiro Kobayashi dari Mitsubishi UFJ Research and Consulting bilang, pemotongan pajak konsumsi cuma masuk akal jika ekonomi dalam kondisi sangat buruk , seperti saat pandemi atau krisis finansial global.
Menurutnya, kalau hanya karena alasan kampanye pemilu padahal ekonomi belum benar-benar ambruk, investor bisa menilai bahwa pemerintah Jepang kurang serius soal kesehatan fiskal negara .
Kesimpulan
Gue rasa segitu aja info tentang isu pemotongan pajak konsumsi di Jepang menjelang pemilu DPR. Meskipun partai oposisi ramai-ramai dukung pemotongan, pemerintah masih ragu karena soal anggaran kesejahteraan. Bagaimana pun, keputusan ada di tangan rakyat Jepang lewat suara mereka tanggal 20 Juli nanti. Sampai jumpa di artikel berikutnya!