AniEvo ID – Berita kali ini gue ambil dari laporan terbaru UNICEF yang bikin geleng-geleng kepala. Kesehatan mental anak-anak di Jepang ternyata menempati peringkat buruk, yaitu posisi ke-32 dari total 43 negara maju dan berkembang. Salah satu faktor utamanya? Tingginya angka bunuh diri di kalangan pemuda Jepang yang kini menduduki urutan keempat tertinggi di dunia — naik drastis dari posisi ke-12 sebelumnya. Fakta ini jadi tanda bahaya besar buat masa depan generasi muda Negeri Sakura.
Angka Bunuh Diri Masih Tinggi

Laporan yang dirilis pada Rabu (14/05) itu menyebut bahwa meskipun secara keseluruhan Jepang naik sedikit dari peringkat 37 di tahun 2020, kondisi kesehatan mental anak-anak masih jadi masalah besar.
Aya Abe, profesor dari Universitas Metropolitan Tokyo yang ahli dalam isu kemiskinan, bilang bahwa “ada kesadaran bahwa anak-anak di Jepang mengalami masalah mental, tapi langkah pemerintah belum cukup efektif.”
Selain itu, ia juga menyebut bahwa meskipun tingkat obesitas di Jepang rendah, banyak anak yang malah kekurangan berat badan — indikasi lain adanya tekanan fisik maupun mental yang tidak sepele. Ini bisa jadi gejala dari stres kronis atau gangguan pola makan akibat tekanan sekolah dan lingkungan sosial.
Posisi Teratas untuk Kesehatan Fisik

Di sisi positif, Jepang tetap memimpin dalam kategori kesehatan fisik, bertahan di posisi pertama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa secara fisik, anak-anak Jepang umumnya dalam kondisi baik, dengan akses layanan kesehatan yang memadai, pola makan seimbang, serta budaya hidup aktif.
Namun, pencapaian ini menjadi kontras ketika dibandingkan dengan kondisi mental mereka yang semakin memburuk. Jepang punya sistem pendidikan yang sangat kompetitif, tapi sayangnya seringkali justru menimbulkan beban emosional yang berat bagi anak-anak.
Dalam hal keterampilan akademik dan sosial, Jepang berada di peringkat ke-12. Meski tergolong baik, pandemi Covid-19 dilaporkan berdampak signifikan pada penurunan performa akademik dan kesehatan mental anak-anak. Sekolah ditutup, interaksi sosial terbatas, dan tekanan akademik tetap ada, membuat banyak anak merasa terisolasi dan cemas.
Tekanan Sosial dan Budaya Kerja yang Ketat

Masalah kesehatan mental di Jepang bukan cuma terjadi di kalangan anak-anak, tapi sudah menjadi isu nasional yang melibatkan seluruh lapisan usia. Budaya kerja yang keras, jam belajar yang panjang, serta stigma negatif terhadap gangguan mental membuat banyak anak enggan mencari bantuan profesional.
Sekolah-sekolah memang mulai menambah jumlah konselor, tapi jumlahnya masih jauh dari cukup. Selain itu, banyak guru dan orang tua yang kurang sensitif terhadap gejala awal depresi atau kecemasan pada anak.
Tantangan Dunia Modern yang Semakin Berat

UNICEF dalam laporannya juga menyerukan kepada semua negara untuk lebih serius menangani isu-isu yang berpengaruh pada kesejahteraan anak. Epidemi, konflik, hingga perubahan iklim disebut sebagai ancaman nyata yang semakin memperburuk kondisi anak-anak di seluruh dunia.
Untuk Jepang, situasi ini bisa jadi alarm penting buat merevisi kebijakan pendidikan, dukungan psikologis, dan lingkungan sosial yang lebih ramah bagi perkembangan mental anak-anak. Kalau tidak, risikonya bukan cuma soal prestasi, tapi juga nyawa.
Penutup
Meski dikenal dengan sistem pendidikan dan kesehatan yang canggih, Jepang masih harus kerja keras untuk melindungi kesehatan mental generasi mudanya. Kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan pemerintah sangat diperlukan biar anak-anak bisa tumbuh sehat, baik secara fisik maupun mental. Masa depan bangsa gak cuma diukur dari rata-rata nilai ujian, tapi juga dari seberapa aman dan bahagia anak-anak saat menjalaninya.