AniEvo ID – Berita kali ini gue ambil dari perkembangan ekonomi terkini di Jepang. Banyak keluarga konglomerat mulai merencanakan buyout alias jadikan perusahaan mereka sebagai perusahaan tertutup biar bisa lepas dari tekanan investor dan ancaman takeover.
Apa yang Lagi Terjadi?

Belakangan ini, banyak keluarga besar pendiri perusahaan besar di Jepang berusaha menarik saham mereka dari pasar modal alias delisting . Alasannya? Mereka pengen bebas dari tekanan investor aktivis dan risiko perusahaan diambil alih oleh pihak luar.
Salah satu contoh paling viral adalah rencana senilai $42 miliar (sekitar ¥6 triliun) dari Akio Toyoda untuk membeli Toyota Industries , anak perusahaan Toyota Motor. Ini bukan cuma sekadar bisnis biasa tapi salah satu langkah paling dramatis dari tren yang sedang naik daun di Jepang.
Selain keluarga Toyoda, keluarga Ito juga sempat coba buyout bareng Seven & I Holdings. Sayangnya, upaya mereka gagal karena ada tawaran dari Couche-Tard dari Kanada. Padahal, keluarga Ito punya 8% saham di sana dan pengen menghindari intervensi dari pihak luar.
Contoh Lain Keluarga Bos Besar yang Pilih Delisting
Bukan cuma Toyota atau Seven & I aja. Ada beberapa kasus lain di mana keluarga besar pemilik perusahaan memilih untuk menarik perusahaan mereka dari bursa saham:
- Fuji Soft : Keluarga pendiri mencoba buyout bersama Bain Capital, tapi gagal.
- Taisho Pharmaceutical Holdings : Dibeli keluarga Uehara tahun lalu dengan harga kontroversial, yaitu di bawah nilai buku. Investor aktivis bilang ini cuma cara halus buat ngambil keuntungan pribadi.
- Snow Peak : Produsen perlengkapan outdoor asal Jepang itu resmi menjadi perusahaan tertutup pada 2024 lalu. Tujuannya biar bisa fokus pada ekspansi global tanpa gangguan dari pemegang saham minoritas.
Kenapa Harus Jadi Perusahaan Tertutup?
Sejak 2023, Jepang udah keluarkan pedoman baru yang membuat perusahaan susah nolak tawaran akuisisi secara mentah-mentah. Di sisi lain, Tokyo Stock Exchange juga dorong perusahaan lebih responsif sama suara pemegang saham.
Akibatnya, banyak keluarga pendiri merasa terganggu. Menurut analis Daiwa Institute of Research, Hidenori Yoshikawa:
“Biaya untuk tetap listed di bursa saham semakin tinggi. Perusahaan harus hadapi tekanan dari investor aktivis dan risiko takeover yang nggak diundang.”
Jadi, banyak yang mikir: daripada ribet urusin ekspektasi investor tiap kuartal, mending delisting aja. Jadi, bisa fokus ke strategi jangka panjang tanpa dipantau terus-menerus.
Selain itu, kalau perusahaan jadi tertutup, manajemen lebih fleksibel dalam mengambil keputusan. Nggak perlu takut diomelin investor setiap kali ada kebijakan yang kurang populer tapi penting untuk pertumbuhan jangka panjang.
Tren MBO (Management Buy-Out) Makin Naik

Menurut data Bloomberg, jumlah transaksi Management Buy-Out (MBO) di Jepang melonjak hampir 50% tahun lalu, mencapai total 37 transaksi . Sampai pertengahan April 2025, sudah ada 10 transaksi lagi yang diumumkan.
Nilai keseluruhan transaksi ini sekitar $4,5 miliar , dan angka ini bisa pecahkan rekor kalau Akio Toyoda benar-benar lanjutin rencana pembelian Toyota Industries.
Yang menarik, tidak semua transaksi dilakukan oleh keluarga pendiri. Banyak juga yang dipimpin oleh tim manajemen internal atau bekerja sama dengan private equity untuk membiayai buyout tersebut.
Tekanan dari Luar Makin Ganas
Kekhawatiran akan diambil alih makin nyata setelah Couche-Tard dari Kanada ngajukan tawaran take over ke Seven & I. Meskipun disebut “friendly”, tawaran ini bikin banyak perusahaan besar sadar: kalau Seven & I aja bisa jadi target, siapa pun bisa.
“Orang-orang lihat kasus Seven & I dan mikir, ‘Wah, bahkan perusahaan sebesar ¥5 triliun aja bisa diambil alih?’” kata Tetsuro Ii, kepala eksekutif Commons Asset Management.
Ini juga bikin banyak keluarga besar pemilik perusahaan sadar bahwa meskipun mereka punya saham mayoritas, kalau nggak aktif mengontrol, suatu saat bisa saja kehilangan kendali.
Investor Aktivis Jadi Katalisator
Dalam beberapa kasus, investor aktivis atau bahkan ketakutan akan tekanan dari mereka, justru jadi pemicu utama perusahaan memilih untuk delisting. Contohnya, bulan Maret lalu, produsen alat optik Topcon mendapat tawaran MBO setelah investor AS, ValueAct Capital, desak perusahaan menjual sebagian operasinya atau malah jadi perusahaan tertutup.
Sementara itu, jumlah perusahaan yang masih terdaftar di Tokyo Stock Exchange terus menyusut. Sejak awal tahun, jumlahnya turun 0,4% karena lebih banyak perusahaan yang melakukan delisting dibandingkan IPO baru.
Delisting = Strategi Keluar Bagi Aktivis Juga

Buat investor, delisting atau MBO kadang justru jadi kabar baik. Soalnya, para pembeli biasanya bayar dengan premi tinggi untuk saham minoritas. Banyak investor senang karena mereka bisa dapat untung cepat tanpa harus nunggu lama-lama. Tapi di sisi lain, selama ini banyak keluhan bahwa Tokyo Stock Exchange terlalu fokus pada jumlah perusahaan yang listing, bukan kualitasnya. Hasilnya? Pasar saham Jepang dipenuhi banyak perusahaan yang kurang aktif dan minim pertumbuhan.
Kesimpulan
Tren keluarga taipan Jepang yang memilih menjadikan perusahaan sebagai tertutup bukan cuma soal kontrol. Ini juga soal kebebasan strategis, perlindungan dari ancaman luar, dan kemampuan untuk fokus pada visi jangka panjang. Namun, di balik semua itu, tetap ada risiko: apakah keputusan ini benar-benar demi keberlanjutan bisnis, atau hanya cara untuk menguntungkan segelintir orang dalam? Yang pasti, tren ini bakal terus jadi sorotan di tengah dinamika ekonomi Jepang yang makin kompetitif.