AniEvo ID – Berita kali ini gue ambil dari laporan resmi Japan Surgical Society dan update terbaru soal kondisi tenaga medis spesialis bedah di Jepang. Jumlah dokter bedah di Jepang makin menyusut tiap tahunnya, padahal kebutuhan operasi khususnya untuk kasus kanker pencernaan makin tinggi. Kondisi ini berisiko membuat pasien tidak bisa menjalani prosedur yang mereka butuhkan.
Fakta di Lapangan: Dokter Bedah Meninggalkan Profesi

Data menunjukkan bahwa meskipun jumlah dokter secara keseluruhan meningkat, jumlah dokter bedah justru turun drastis , terutama dalam bidang gastroenterologi (bedah sistem pencernaan). Dalam 10 tahun terakhir, jumlah dokter bedah spesialisasi ini turun hingga 10% , dan diperkirakan akan terus anjlok hingga 75% dalam 10 tahun mendatang .
Padahal, jumlah pasien dengan penyakit kanker sistem pencernaan mencapai lebih dari 400.000 per tahun , dengan sekitar 120.000 operasi kompleks dilakukan setiap tahunnya . Ini artinya, ada risiko nyata di mana pasien tidak bisa mendapatkan operasi yang mereka butuhkan , hanya karena nggak cukup dokter bedah yang tersedia.
Kenapa Dokter Bedah Mundur?
Ada beberapa alasan utama mengapa banyak dokter bedah memilih keluar dari profesinya:
- Jam Kerja yang Tidak Menentu
- Dokter bedah sering harus bekerja di luar jam normal, termasuk malam hari dan hari libur. Terutama saat ada kasus darurat seperti trauma atau kegawatdaruratan internal, mereka wajib stand-by dan siap bertindak kapan pun.
- Beban Kerja Tinggi & Tekanan Besar
- Setiap tindakan bedah penuh tekanan. Salah sedikit, bisa berujung pada komplikasi bahkan malpraktik. Belum lagi tanggung jawab besar yang mereka emban, mulai dari pra-operasi sampai pemulihan pasien.
- Gaji yang Nggak Sebanding dengan Beban Kerja
- Meski tugasnya sangat kritis, banyak dokter bedah yang digaji sama dengan dokter di departemen lain. Padahal, beban kerja mereka jauh lebih berat. Beberapa rumah sakit sudah mulai menaikkan gaji dokter bedah junior hingga 30% , tapi itu masih langka dan belum menjadi standar nasional.
- Kurangnya Sistem Tim
- Di Jepang, sistem tradisional di mana satu dokter menangani satu pasien masih sangat kuat. Meski memberikan rasa aman bagi pasien, sistem ini bikin dokter harus selalu stanby dan susah istirahat. Kalau pasien kambuh tengah malam, ya dokter yang bersangkutan harus datang.
Perlu Reformasi Sistem Kerja

Untuk mengatasi masalah ini, para ahli menyarankan beberapa reformasi penting:
- Peralihan ke Sistem Tim
- Alih-alih satu dokter menangani satu pasien sepanjang waktu, sistem tim di mana beberapa dokter bergantian merawat pasien harus diterapkan. Ini bisa mengurangi beban kerja individual dan mencegah burnout.
- Delegasi Tugas ke Tenaga Medis Lain
- Beberapa tugas administratif, seperti input data rekam medis, bisa dialihkan ke perawat atau staf pendukung. Ini bisa mengurangi beban birokratis yang sering kali membuang waktu dan energi dokter.
- Penyesuaian Biaya Medis untuk Rumah Sakit
- Saat ini, rumah sakit menerima pembayaran tetap dari asuransi kesehatan, tanpa melihat beban kerja dokter. Pemerintah diminta merevisi struktur biaya agar rumah sakit bisa membayar dokter bedah sesuai risiko dan usaha yang mereka keluarkan.
Distribusi Pasien yang Lebih Baik
Masalah lain yang memperparah situasi adalah distribusi pasien yang tidak merata. Banyak rumah sakit kecil dan menengah dipaksa menangani operasi yang sebenarnya cocok dilakukan di fasilitas level tinggi.
Ahli menyarankan agar operasi kompleks dipusatkan di rumah sakit besar , sementara rumah sakit kecil fokus pada prosedur yang lebih sederhana dan rendah risiko. Selain efisiensi, pendekatan ini juga bisa mengurangi risiko kecelakaan medis. Data menunjukkan bahwa rumah sakit yang sering melakukan operasi punya tingkat kematian pasca-bedah lebih rendah , karena pengalaman dan infrastruktur yang lebih baik.
Kasus Nyata: Malpraktik Akibat Kelelahan
Sebuah insiden di Prefektur Hyogo baru-baru ini menjadi sorotan publik. Di sebuah rumah sakit menengah, operasi saraf kompleks berujung pada cedera permanen pada pasien. Salah satu dokter terlibat akhirnya didakwa atas kelalaian profesional.
Kejadian seperti ini bukan cuma soal keahlian, tapi juga faktor manusia : kelelahan, kurang istirahat, dan overload pekerjaan. Dan ini bukan kejadian pertama.
Upaya Awal yang Sudah Dilakukan
Beberapa rumah sakit mulai mengambil langkah proaktif. Contohnya, Rumah Sakit Universitas Hiroshima , yang mulai memberikan insentif finansial lebih besar untuk dokter muda yang memilih jalur bedah. Kenaikan gaji hingga 30% diberikan sebagai bentuk apresiasi atas beban kerja yang ekstra. Namun, solusi ini masih terbatas pada institusi tertentu. Untuk skala nasional, dibutuhkan intervensi pemerintah pusat agar perubahan bisa terjadi secara sistematis.
Masalah Struktural dalam Dunia Bedah Jepang
Salah satu masalah besar yang sering diabaikan adalah sistem pelatihan dan karier yang kurang menarik bagi generasi muda. Banyak mahasiswa kedokteran yang batal memilih jalur bedah karena takut dengan jam kerja panjang , tekanan tinggi , dan penghasilan yang tidak proporsional .
Belum lagi, banyak dokter muda yang merasa kurang dukungan dari senior mereka , atau tidak memiliki mentor yang bisa membantu pengembangan karier . Ini berimbas pada minat generasi muda untuk masuk ke dunia bedah.
Apa Dampaknya Bagi Pasien?
Kalau tren ini terus berlanjut, dampaknya akan langsung dirasakan oleh pasien. Mereka mungkin harus menunggu lebih lama untuk dapat jadwal operasi, atau bahkan ditolak rawat inap karena tidak ada dokter yang tersedia.
Hal ini juga bisa menyebabkan penundaan pengobatan kritis , seperti operasi kanker atau penanganan darurat, yang ujung-ujungnya bisa berujung pada komplikasi lebih parah atau bahkan kematian .
Langkah Maju yang Bisa Diambil

Agar situasi ini bisa diperbaiki, beberapa langkah konkret yang bisa diambil antara lain:
- Reformasi Sistem Gaji
- Pemerintah harus menetapkan mekanisme insentif finansial yang lebih adil, sehingga dokter bedah digaji sesuai beban kerja mereka. Ini bisa menarik lebih banyak dokter muda untuk memilih jalur bedah.
- Peningkatan Infrastruktur dan SDM
- Rumah sakit besar harus didukung lebih maksimal, baik dari segi teknologi maupun sumber daya manusia, agar bisa menangani pasien lebih banyak dan mengurangi tekanan pada individu dokter.
- Pembagian Tugas yang Lebih Efisien
- Dengan membagi tugas antara dokter, perawat, dan teknisi medis, beban kerja dokter bisa dikurangi. Misalnya, tugas administratif bisa diserahkan ke staf pendukung, bukan jadi tanggung jawab dokter sepenuhnya.
- Program Rekrutmen Aktif
- Fakultas kedokteran dan rumah sakit perlu aktif mempromosikan jalur bedah sebagai profesi yang layak. Mulai dari mentoring, pelatihan intensif, sampai program rotasi lapangan yang realistis.
- Peningkatan Kesadaran Publik
- Tidak semua orang awam tau betapa beratnya hidup dokter bedah. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, diharapkan ada lebih banyak dukungan moral dan sosial bagi mereka yang memilih jalur ini.
Penutup
Kekurangan dokter bedah di Jepang bukan sekadar isu statistik ini adalah masalah hidup-mati bagi pasien yang membutuhkan operasi. Tanpa dokter bedah yang cukup, banyak pasien bisa terlantar atau terpaksa menunggu lebih lama, padahal waktu adalah faktor penentu kesembuhan.
Perlu ada reformasi sistemik dari struktur gaji, sistem shift, distribusi pasien, sampai cara rekrutmen generasi baru. Kalau nggak ada langkah konkret, situasi ini bakal makin parah dalam dekade mendatang. Lo udah pernah alami sendiri atau keluarga lo kena imbas kekurangan dokter bedah? Atau punya ide buat solusi lain? Share di kolom komentar!