AniEvo ID – Berita kali ini gue ambil dari Jepang yang kembali mengoperasikan kapal pemburu paus secara komersial, dan baru aja menyelesaikan ekspedisi dengan hasil 25 paus sirip. Pada hari Senin, sebuah kapal pemburu paus Jepang kembali ke pelabuhan di Prefektur Miyagi setelah sukses membawa pulang 25 paus sirip hasil tangkapan mereka di Laut Okhotsk . Ini adalah perburuan paus sirip pertama yang dilakukan Jepang di zona ekonomi eksklusifnya sejak keluar dari Komisi Perburuan Paus Internasional (IWC) pada tahun 2019 .
Sekitar 320 ton daging paus sudah mulai dibongkar di pelabuhan Sendai, dan sekitar 1,6 ton akan dikirim ke enam pasar besar di Jepang, termasuk di Tokyo dan Osaka , dalam bentuk daging mentah. Kapal tersebut berangkat dari Shimonoseki, Jepang barat, sejak tanggal 21 April lalu , dan langsung menuju Laut Okhotsk untuk memulai operasi perburuan.
Jepang Kembali ke Jalur Komersial Setelah Keluar dari IWC

Langkah Jepang untuk kembali melakukan perburuan paus secara komersial bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Sejak keluarnya negara itu dari IWC pada 2019, pemerintah Jepang mulai lebih leluasa dalam menetapkan kebijakan terkait perburuan paus. Alasannya? Mereka ingin menjaga tradisi lokal, serta mendukung industri perikanan dan konsumsi paus yang masih memiliki permintaan di beberapa wilayah.
Pada tahun 2024 , Badan Perikanan Jepang resmi menambahkan paus sirip sebagai salah satu spesies target dalam perburuan paus komersial, dengan kuota 60 paus untuk tahun 2025. Langkah ini tentu saja menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak, terutama aktivis lingkungan hidup dan organisasi perlindungan satwa liar.
Sebelumnya, saat masih menjadi anggota IWC, Jepang sempat menghentikan perburuan paus komersial pada tahun 1988 , tapi tetap melanjutkan perburuan paus dengan dalih penelitian. Banyak pihak mengecam langkah ini sebagai kedok untuk melanjutkan bisnis perburuan paus secara legal—dan sekarang, mereka tidak lagi menggunakan alasan “penelitian”.
Kontroversi yang Tak Pernah Padam
Meskipun bagi sebagian masyarakat Jepang, konsumsi paus adalah bagian dari budaya, bagi dunia internasional, praktik ini dianggap tidak etis dan membahayakan ekosistem laut . Paus sirip sendiri merupakan salah satu spesies paus terbesar di dunia dan tergolong sebagai rentan punah oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Organisasi seperti Greenpeace , Sea Shepherd , dan WWF sudah berkali-kali menyatakan penolakan terhadap perburuan paus, baik dalam konteks penelitian maupun komersial. Mereka menilai bahwa meskipun Jepang berdalih menjaga tradisi, praktik ini justru membahayakan populasi paus yang belum sepenuhnya pulih dari perburuan masal di masa lalu.
Selain itu, ada juga pertanyaan tentang kebutuhan daging paus di pasar domestik . Meskipun masih tersedia di restoran tertentu dan supermarket, permintaan daging paus di Jepang terus menurun dari generasi ke generasi. Anak muda Jepang cenderung tidak terlalu familiar atau tertarik dengan konsumsi paus, sehingga muncul pertanyaan: apakah ekspedisi besar-besaran ini benar-benar untuk memenuhi permintaan pasar?
Dampak Lingkungan dan Etika yang Perlu Dipertimbangkan

Perburuan paus bukan hanya soal hewan, tapi juga soal ekosistem laut secara keseluruhan . Paus berperan penting dalam menjaga keseimbangan rantai makanan laut, serta membantu menyerap karbon di atmosfer melalui proses alami bernama “paus pump” — yaitu ketika paus membawa nutrisi dari dasar laut ke permukaan, meningkatkan pertumbuhan plankton yang menjadi dasar ekosistem laut.
Kalau populasi paus terus menurun karena perburuan, maka efeknya bisa dirasakan secara luas, termasuk penurunan jumlah ikan, peningkatan karbon di udara, dan kerusakan ekosistem laut.
Di sisi lain, ada juga isu etika hewan . Metode penangkapan paus sering kali dianggap tidak manusiawi. Paus ditangkap dengan harpoon bertenaga ledakan, dan proses kematian mereka bisa memakan waktu cukup lama, disertai rasa sakit yang ekstrem.
Penutup: Tradisi vs Konservasi
Jepang memang punya hak atas kebijakan perikanan nasionalnya, tapi di era modern seperti sekarang, ada banyak alternatif untuk melestarikan budaya tanpa harus membahayakan satwa langka. Tekanan internasional pasti terus datang, dan Jepang harus siap menghadapi risiko reputasi global akibat langkah ini.
Bagi lo yang peduli sama lingkungan atau cuma sekadar pengen tau perkembangan isu dunia, ini adalah topik yang wajib lo ikuti. Soalnya, apa yang terjadi di Laut Okhotsk hari ini bisa berdampak besar buat lautan kita besok.